1.
Idealisme
Istilah
idealisme yang menunjukkan suatu pandangan dalam filsafat belum lama
dipergunakan orang. Namun demikian, pemikiran tentang ide atau idea telah lama
dikemukakan oleh Plato sekitar 2400 tahun
yang lalu. Menurut Plato,
realitas yang fundamental ialah ide atau idea, sedangkan realitas yang tampak
oleh indera manusia adalah bayangan dari ide atau idea tersebut. Ini berarti
bahwa dibelakang alam empiris atau alam fenomena yang kita hayati terdapat alam
ideal ataualam esensi. Bagaimana implikasi dari pandangan idealisme ini.
Bagi
kelompok idealis alam ini ada tujuannya yang bersifat spiritual. Hukum-hukum
alam dianggap sesuai dengan kebutuhan watak intelektual dan moral manusia.
Mereka juga berpendapat bahwa terdapat suatu harmoni yang mendasar antara
manusia dan alam. Manusia memang merupakan bagian dari proses alam, tetapi ia
juga bersifat spiritual, karena manusia memiliki akal, jiwa, budi dan nurani.
Kelompok
yang mengikuti pandangan ini cenderung menghormati kebudayaan dan tradisi,
sebab mereka mempunyai pandangan bahwa nilai-nilai kehidupan itu memiliki
tingkat yang lebih tinggi dari sekedar nilai kelompok individu. Ini menunjukkan
bahwa kekuatan idealisme terletak pada segi mental dan spiritual kehidupan.
2.
Humanisme
Sejak
zaman kuno hingga pertengahan abad ke-4, pendidikan di Yunani dan Romawi
mempunyai tujuan yang jelas yakni membentuk manusia menjadi warga negara yang
baik serta berguna bagi negara dan bangsa. Mulai abad ke-5 hingga abad ke-14,
yang dalam sejarah Eropa disebut sebagai abad pertengahan, tujuan pendidikan
dimaksudkan untuk mencapai kebahagiaan hidup abadi dan mengatasi kebutuhan
duniawi.
Perlu
diketahui bahwa dalam abad kegelapan yaitu dari abad ke-5 sampai dengan abad
ke-10, justru di negara-negara Timur mulai timbul perkembangan pesat dalam ilmu
kealaman. Sejak abad ke-15 yang disebut dengan masa kebangkitan kembali atau renaissance yang berkembang di Italia,
timbul pandangan humanisme yang
didukung oleh berbagai penemuan, seperti mesin cetak serta ditemukannya benua
Amerika dan India oleh Columbus dan Vasco de Gama.
Humanisme memiliki dua arah, yakni humanisme individu dan humanisme sosial.
Humanisme individu mengutamakan
kemerdekaan berpikir, mengeluarkan
pendapat dan berbagai aktifitas yang kreatif. Kemampuan ini disalurkan melalui
kesenian, kesusastraan, musik, teknologi dan penguasaan tentang ilmu kealaman. Humanisme sosial mengutamakan pendidikan
bagi masyarakat keseluruhan untuk kesejahteraan sosial dan perbaikan hubungan
antar manusia.
3. Rasionalisme
Para
penganut rasionalisme berpendapat bahwa satu-satunya sumber pengetahuan yang
dapat dipercaya adalah rasio (akal) seseorang.
Perkembangan pengetahuan mulai pesat pada abad ke-18. orang yang
dianggap sebagai bapak rasionalisme adalah Rene Descartez (1596-1650) yang juga
dinyatakan sebagai bapak filsafat modern. Semboyannya yang terkenal adalah cogito ergo sum (saya berpikir, jadi
saya ada). Tokoh-tokoh lainnya adalah John Locke (1632-1704), J.J. Rousseau
(1712-1778) dan Basedow (1723-1790).
John
Locke terkenal sebagai tokoh filsafat dan pendidik dengan pandangannya tentang
tabularasa dalam arti bahwa setiap insan diciptakan sama, sebagai kertas
kosong. Dengan demikian melatih atau memberikan pendidikan untuk pandai menalar
merupakan tugas utama pendidikan formal.
J.J.
Rousseau adalah seorang tokoh pendidikan yang berpandangan bahwa seorang anak
harus dididik sesuai dengan kemampuannya atau kesiapannya menerima pendidikan.
Jadi anak harus dipandang sesuai dengan alamnya dan jangan dipandang dari sudut
orang dewasa saja.
J.B.
Basedow berpandangan bahwa pendidikan harus membentuk kebijaksanaan, kesusilaan
dan kebahagiaan. Pada tahun 1774 ia mendirikan sekolah Philantropirum dengan
mata pelajaran bahasa Prancis, Latin,
Yunani, ilmu pasti, ilmu kealaman (ilmu bumi, ilmu hayat dan ilmu alam),
musik, menggambar dan pendidikan jasmani.
4. Empirisme
Asal
kata empirisme adalah empira yang
berarti kepercayan terhadap pengalaman. Bahan yang diperoleh dari pengalaman
diolah oleh akal, sedangkan yang merupakan sumber pengetahuan adalah pengalaman
karena pengalamanlah yang memberikan kepastian yang diambil dari dunia fakta. Empirisme berpandangan bahwa pernyataan
yang tidak dapat dibuktikan melalui pengalaman adalah tidak berarti atau tanpa
arti. Ilmu harus dapat diuji melalui pengalaman. Dengan demikian, kebenaran
yang diperoleh bersifat a posteriori
yang berarti setelah pengalaman (post to
experience).
Francis
Bacon (1561-1626) telah meletakkan dasar-dasar empirisme dan menyarankan agar penemuan-penemuan dilakukan dengan
menggunakan metode induksi. Menurutnya ilmu akan dapat berkembang melalui
pengamatan dan eksperimen serta menyusun fakta-fakta sebagai hasil eksperimen.
Selanjutnya,
dibawah Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke dan lain-lain, empirisme sangat berkembang. Pandangan
Thomas Hobbes sangat mekanistik. Karena merupakan bagian dari dunia, apa yang
terjadi pada manusia atau yang dialaminya dapat diterangkan secara mekanik. Hal
ini menyebabkan Thomas Hobbes dipandang sebagai penganjur materialisme. Sesuai dengan kodratnya, manusia berkeinginan
mempertahankan kebebasan dan menguasai orang lain. Hal ini menyebabkan adanya
ungkapan homo homini lupus yang
berarti bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lain.
John
Locke (1632-1704) berpandangan bahwa akal tidak akan melahirkan pengetahuan
dengan sendirinya. Pengalamanlah yang merupakan sumber pengetahuan. Gagasan
atau ide yang timbul dari pengalaman lahiriah (sensasi) dan pengalaman batin (refleksi) merupakan sumber gagasan (ide) tunggal. Gagasan tunggal ini
bergabung menjadi gagasan-gagasan majemuk dan ide-ide majemuk sehingga
menimbulkan pengetahuan manusia yang beraneka ragam.
5.
Kritisisme
Filsafat
pada zaman pencerahan atau pada abad ke-18 disempurnakan oleh Emmanuel Kant
(1724-1804). Ia menjembatani kedua pandangan yaitu rasionalisme dan empirisme dan disebut kritisisme. Empirisme menghasilkan keputusan-keputusan yang
bersifat sintesis yang tidak bersifat mutlak, sedangkan rasionalisme memberikan
keputusan yang bersifat analitis. Berpikir merupakan proses penyusunan
keputusan yang terdiri dari subyek dan predikat.
Menurut
Kant, baik empirisme maupun rasionalisme, masing-masing kurang
memadai, karena masih ada pernyataan yang bersifat sintesis analitis,
misalnya : semua kejadian ada sebabnya.
6.
Konstruktivisme
Pandangan
ini dikemukakan oleh Giambattista Vico pada tahun 1710 yang intinya adalah
bahwa pengetahuan seseorang itu merupakan hasil konstruksi individu, melalui
interaksinya dengan obyek, fenomena, pengalaman dan lingkungannya. Jean Piaget
antara lain mengemukakan bahwa pengalaman tidak diperoleh secara pasif oleh
seseorang; baik melalui indera maupun melalui komunikasi. Pengetahuan dibangun
secara aktif oleh individu sendiri. Tokoh lain yakni E.von Glaserfeld dari University of Massachusetts mengemukakan
bahwa pengetahuan seseorang dibentuk oleh individu tersebut melalui hasil
interaksi dengan lingkungannya. The Liang Gie (1987) mengemukakan bahwa
pengetahuan adalah keseluruhan keterangan dan ide yang terkandung dalam
pernyataan-pernyataan yang dibuat mengenai suatu gejala atau peristiwa.
Dalam
perkembangan konstruktivisme dikenal konstruktivisme kognitif atau
konstruktivisme personal, konstruktivisme sosial dan konstruktivisme kritis.
Konstruktivisme kognitif dikembangkan oleh J. Piaget dan pandangannya adalah
bahwa anak membangun pengetahuan melalui berbagai jalur, yakni membaca,
mendengarkan, bertanya, menelusuri dan melakukan eksperimen terhadap lingkungannya.
Dengan adanya tahap-tahap perkembangan kognitif, yaitu sensori motor,
praoperasi, operasi kongkret dan formal, seseorang dapat menalar apa yang
dialaminya melalui mekanisme asimilasi, akomodasi dan ekuilibrium.
Konstruktivisme sosial dikembangkan oleh Vigotsky yang mengatakan antara lain
bahwa belajar dilakukan dalam interaksinya
dengan lingkungan sosial ataupun fisik seseorang.
Pandangan ini kemudian dikembangkan oleh para ahli menjadi konstruktivisme
kritis dalam pembelajaran dengan merangsang peserta didik menggunakan
tekhnik-tekhnik yang kritis untuk mengaplikasikan konsep-konsep yang bermakna
bagi dirinya. Menurut paham konstruktivisme, fungsi guru berubah menjadi fasilitator yang membuat
situasi kondusif agar terjadi hasil belajar dan transfer belajar yang optimal.
Suriasumantri Jujun
S, 1997, Ilmu dalam Perspektif, Obor Indonesia Jakarta
No comments:
Post a Comment